Kamis, 06 Agustus 2009

Ushul Fiqih

Sejarah Ushul Fiqih
Akibat dari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama, timbullah satu pemikiran untuk membuat peraturanperaturan dalam ijtihad dan penetapan hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh pendapat yang benar dan setidak-tidaknya agar dapat memperpendek jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Dan peraturan-peraturan tersebut dikenal sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'i rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam. Dan berdasar nash pula para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi SAW.

Definisi Ushul Fiqih
Dari segi ketatabahasaan Arab, kata Ushul Fiqih adalah 'tarkib idhofi'/kata majemuk , terdiri daru dua suku kata, ushul dan fiqih yang menjadi 'mudhof/keterangan dan mudhof ilaih/yang menerangkan. Kata Ushul adalah jamak dari akar kata 'ashl' yang menurut bahasa berarti 'sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain', sedang menurut istilah berarti 'dalil'. Sedang kata Fiqih menurut bahasa berarti 'pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan, seperti diisyaratkan Allah dalam firman-Nya dalam surah an Nisa' ayat 78 "famalihaulai al qoumi la yakaduna yafqohuna hadis". Kata yafqohuna bermakna 'memahami'. Demikian juga dalam hadis Nabi SAW yang menyatakan " man yuridallahu bihi khoiran yufaqqihu fiddin"/barang siapa yang dikendaki Allah sebagai orang yang baik, Allah akan memberikan pemahaman kepadanya dalam persoalan-persoalan agama. (H. Muttafaqun 'alaih). Sebagaimana dikatakan Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian ini maka dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqih adalah tentang hukum-hukum yang rinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, wajib, sunnat, makruh dan mubah beserta dalilnya masing-masing. Sementara itu ulama mendefinisikan Ushul Fiqih adalah kaedah-kaedah yang menjelaskan metode, seperti diungkapkan Prof. Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqihnya " al 'ilmu bilqowa'idillati tarsumu al manahiju liistimbathi al ahkami al 'amaliyati min adillatiha al tafshiliyati"/ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.

Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu Mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi Ushul Fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu Nahu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu Ushul Fiqih, merupakan kaedah yang memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan menetapkan hukum.Obyek Pembahasan Ushul FiqihSesuai dari keterangan tentang pengertian ilmu Ushul Fiqih, maka yang menjadi obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqih meliputi:
(1).Pembahasan tentang dalil-dalil/hukum syara', yaitu macam-macamnya, rukun atau syarat masing- masing dari ragam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.

(2). Pembahasan tentang hukum, yaitu pembahasan secara umum, tidak dibahas secara rinci bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini meliputi macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Dan dalam hal ini dibagi kepada:
a). Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh". Q.S. al An'am. A.57b).
b).Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW.
c). Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan jawab.

(3). Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

(4). Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.

Hukum Syara'
Salah satu Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yaitu ketetapan Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan perintah atau larangan/iqtidha', pilihan/takhyir, maupun sebab akibat/wadh'i. Dan yang dimaksud dengan ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf; seperti hukum haram, wajib, sunnat (sunnah), makruh, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan lainnya.Seperti hubungan antara pembagian harta pusaka dengan kematian seseorang, di mana kematian seseorang menjadi sebab berhaknya ahli waris terhadap pemilikan harta pusaka dari orang yang mati. Bisa juga hubungan antara dua hal, yang satu menjadi syarat bagi terwujudnya yang lain, mengambil wudhu' misalnya adalah syarat untuk mengerjakan shalat atau syarat adanya saksi bagi sahnya suatu pernikahan. Dengan demikian disimpulkan, bahwa hukum syara' dibagi menjadi dua hal, yaitu
1). yang berupa iqtidha' dan takhyir disebut hukum taklifi.
2). Hukum yang menghubungkan antara dua hal (sebab-akibat) disebut hukum wadh'i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar