Rabu, 30 Desember 2009

Fa'i

Fa`I yaitu harta rampasan tanpa darah tertumpahkan ( tidak dengan cara pertempuran ).
Pembagian fa'i
Fa'i itu dibagi menjadi dua bagian :

1. 1/5 (20%)
4% Imam
4% Mushalihu'l-Muslimin (untuk kemaslahatan kaum muslimin) Kekuasaan diserahkankepada Imam.
4% Fuqara wa'l-masakin (kaum fakir dan kaum miskin).4% Ibnu'sabil (mereka yang berperang).
4% Yatama (anak-anak yatim)

2. 4/5 (80%)
Diberikan kpd keuangan negara untuk kemaslahatan kaum Muslimin

Salab

As-salab adalah barang berupa pakaian, senjata, dan sebagainya yang diperolaeh dari serdadu musuh yang berhasil dibunuhnya dimedan perang dan di dapat tanpa paksaan.

Ghanimah

Ghanimah Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang.Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak jaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk pemimpin.

Pembagian ghanimah:

1. 20% untuk :- 4% imam- 4% fuqarah dan masakin(kaum fakir miskin)- 4% mashalihul'l muslimin(untuk kemaslahatan kaum muslimin)- 4% ibnu'ssabil- 4% yatama(anak-anak yatim)

2. 80% untuk : diserahkan bulat sebagai bagian tentara negara islam.

Jihad

Pendapat Menurut 4 Imam Mahzab

Menurut Imam Hanafi Fiqih Imam Kasani dalam bukunya Bada’Sama, mengartikan jihad seperti: “Berjuang dengan segenap usaha dan kekuatan karena Allah SWT dengan jiwa, harta, ucapan atau dengan cara lainnya….”

Menurut Imam Maliki Fiqh Imam Ibnu Arafa, dilanjutkan oleh Sheikh Khalil dalam Mukhtasar Al-Khalil, mengatakan bahwa jihad adalah: “….seorang muslim yang berjuang melawan kaum kafir tanpa suatu perjanjian, hanya karena Allah SWT semata dan untuk meninggikan nama-Nya dengan mengharapkan keridhoanNya.”

Menurut Imam Syafi’i Fiqh Imam Shirazi dalam buku Al-Muhazab Fil Fiqh Imam Shafi’i mengatakan bahwa jihad adalah berjuang melawan kaum kafir hanya karena Allah dengan jiwa, harta, ucapan, atau mengajak orang lain….”(Kitab Al Minhaj oleh Imam Nawawi)

Menurut Imam Hambali Fiqh Imam Ibnu Qudama Al-Maqdisi mengatakan bahwa jihad adalah menyebarkan perjuangan melawan orang kafir, apakah itu sebagai fardhu Kifayah atau fardhu ‘Ain, melindungi orang mukmin dari kaum kafir, menjaga daerah perbatasan, berjuang di garis terdepan dan di garis perbatasan sebagai penopang.

Arti Jihad secara Umum
Saat ini jihad diartikan sebagai berjuang di jalan Alloh secara berjama’ah. Dahulu para ulama mengartikan jihad baik secara syara’ atau secara umum adalah sama. Tetapi sekarang hal itu berbeda

Jihad Menurut Ushul Fiqh
Menurut Imam Al-Qastalani, Imam Al-Mawardi (Syafi’i), Imam Al-Taftazani (Hanafi), dan Imam Jirjani (Hanafi): “…suatu kondisi melawan kaum kafir untuk mendapatkan kemenangan Islam yang harus dilakukan dengan tujuan untuk meninggikan nama Allah SWT….”
Karena itu menurut hukum, secara umum dan menurut ilmu ushul fiqh, jihad adalah berjuang di jalan Allah atau perjuangan dengan segenap usaha melawan kaum kafir untuk meninggikan agama Allah SWT.

Terdapat beberapa Sahih Muslim bersumber dari Abu Sa’ad Al Kudri bahwa sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah jihad itu?” dan beliau menjawab, “Berjuang untuk meninggikan Agama Allah SWT.”

Pengertian jihad begitu luas dan juga bersifat terbatas (Al Jamiyyah Wa al Maniyyah) luas karena dilihat dari pengertian jihad menurut bahasa dan perlengkapannya. Hal ini bersifat terbatas karena perjuangan yang dilakukan hanya untuk melawan kaum kafir semata-mata hanya mengharapkan ridho Allah SWT.

Namun terdapat perbedaan pendapat apakah jihad hanya sebuah bentuk penyerangan atau apakah itu mencakup baik jihad sebagai penyerangan maupun jihad sebagai sikap bertahan. Al Izz Ibnu Salaam (Sheikh al Jihad) mengatakan bahwa jihad hanya sebagai bentuk penyerangan bukan sikap bertahan yaitu akan disebut jihad jika kita memulai atau memprakarsai pertemuan atau perkelahian, kewajiban yang lain (misalnya sikap bertahan jihad), dinamakan Al Dafa’ah. Pertahanan pada diri sendiri menjadi naluriah yang ada pada manusia juga terdapat pada binatang, tidak seperti kewajiban khusus dalam serangan jihad.

Dan lagi Ibnu Qayyim meletakkan beberapa kondisi untuk jihad, sebagai berikut:
1. Seorang muslim harus mengawali atau memulai pertempuran
2. Bahwa pertempuran itu harus melawan orang-orang kafir (NB. pertempuran dengan orang-orang murtad) (misalnya orang yang ingkar pada agama atau partai) disebut Qaatal al Riida dan adalah pelaksanaan hukum pidana atau undang-undang Islam dengan cara pertempuran Baghee (misalnya seorang pemberontak) disebut Qaatal al Baghee, dalam hal ini
3. Al Ma’niyyah mempunyai maksud bahwa pertempuran jihad untuk membuat agama Allah SWT yang dominan (NB. biasanya ini termasuk dalam sikap bertahan sejak satu pertempuran untuk kemenangan atau kesyahidan tidak melihat untuk melaksanakan sistem aturan Islam dalam beberapa keadaan.

Pembagian jihad

Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat membagi jihad dalam dua bagian:
1. Al Jihad al Mubada’ah yaitu melakukan serangan jihad
2. Al Jihad al Dafa’ah yaitu sikap bertahan jihad
Bagaimanapun, secara bahasa kata jihad mengandung arti usaha sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah, ini ditemukan tanpa menggunakan Al-Qur’an dengan perbedaan arti jihad dalam mengendalian nafsu misalnya….ketika Alloh (SWT) menjelaskan pertempuran atau peperangan dalam jihad Dia menggunakan kata “Qaatala” dan dalan satu peperangan itu siapa saja yang bertempur dinamakan “Muqaatil” (Dimana “Qatala” adalah pembunuhan dan pembunuh disebut “Qatil”). Alloh tidak pernah menggunakan Qatil atau pembunuhan (murder atau kill) dalam Al-Qur’an konteks Jihad tetapi lebih pada Qitaal (peperangan) semenjak hidup menjaga kesucian dalam Islam.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa alasan mengapa kita memerangi orang-orang kafir (dalam melakukan serangan jihad) adalah karena mereka menghalangi agama kita atau memerangi agama kita. Imam Abu Hanafi pada kesempatan lain mengatakan bahwa kita memerangi orang-orang kafir (serangan jihad) karena mereka memerangi kita dan menghalangi agama kita untuk dilaksanakan.

Rabu, 26 Agustus 2009

Jinayah

Menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat
yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul
kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.

Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan
bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan
anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau
melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.

Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan
sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di
bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,
diyat atau ta`zir.

Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-

1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama
sendiri dan sebagainya

2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala
fitrah tuduh-menuduh.

3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada
kecurian, ragut dan lain-lain.

4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan
keselamatan diri.

5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan
orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan

Hudud
Hudud adalah batasan hukum yang ditentukan Allah dan tidak boleh dilanggar. Hudud mirip dengan Al-Furqan namun tidak universal karena berlaku untuk kalangan tertentu dalam kondisi tertentu di bidang tertentu. Hudud ini mirip, namun tidak sama, dengan Hak-Hak Azasi Manusia karena sama-sama tidak boleh dilanggar. Tidak boleh dilanggar tapi boleh diperketat asalkan melalui proses-proses yang damai misalnya melalui musyawarah dan perwakilan.
Contoh hudud adalah larangan keluar rumah dan keharusan berbicara dibalik tabir untuk istri-istri nabi. Di Arab Saudi, hudud ini diperketat hingga berlaku juga untuk yang muslimah yang bukan istri nabi, bahkan juga untuk non-muslim. Dapat kita saksikan muslimah-muslimah yang keluar rumah harus ditemani keluarganya dan harus memakai tirai menutupi wajah dan seluruh tubuhnya.
Di jaman kemerdekaan, hal ini sudah menjadi diskusi serius antar Presiden Soekarno dan tokoh Masyumi. Kesimpulannya bahwa Indonesia tidak harus mencontoh Arab Saudi, yang penting masih dalam batas-batas hudud Allah.
Contoh hudud yang lain adalah “laa ikraha fiddin” atau “tidak ada paksaan dalam beragama”. Kalau dikombinasikan dengan tabir tadi, maka dapat disimpulkan mereka yang menggunakan kekerasan untuk memaksa muslimah Indonesia memakai tabir di wajah seperti Arab Saudi jelas-jelas melanggar batas. Orang-orang yang melampaui batas, meskipun terlihat teguh beragama, dicela Allah sebagai ekstrimis.
Menilai dengan menggunakan Hudud tentu tidak sesederhana menggunakan Al-Furqan. Karena itu kalau ragu-ragu, maka cari-carilah informasi dan banding-bandingkan sebelum menetapkan hati pada sesuatu.

Kafarat

Bagi laki-laki yang menjima'i isterinyaTelah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.Ada yang mengatakan : kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.2. Gugurnya kafaratBarang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.Allah berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.3. Kafarat hanya bagi laki-lakiSeorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja




DIYAT

1. Hukuman Diyat ialah harta yang wjib dibayar dan diberi oleh penjinayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jinayah yang dilakukan oleh penjinayah ke atas mangsanya.
2. Hukum Diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah dan Rasulnya di dalam Quran dan Hadis sebagai ganti rugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan, atau melukakannya.
3. Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:-
a) Pembunuhan yang serupa dengan sengaja.
b) Pembunuhan yang tersala(tidak sengaja).
c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau ahli waris orang yang dibunuh. Firman Allah Taala:-
Maka sesiapa(pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaanya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yag baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab yang tidak terperi sakitnya.


Qishas
(bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. [1]
Dasarnya adalah: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]
Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta penebus dalam bentuk materi.
Qiyas
artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Kamis, 06 Agustus 2009

Ushul Fiqih

Sejarah Ushul Fiqih
Akibat dari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama, timbullah satu pemikiran untuk membuat peraturanperaturan dalam ijtihad dan penetapan hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh pendapat yang benar dan setidak-tidaknya agar dapat memperpendek jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Dan peraturan-peraturan tersebut dikenal sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'i rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam. Dan berdasar nash pula para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi SAW.

Definisi Ushul Fiqih
Dari segi ketatabahasaan Arab, kata Ushul Fiqih adalah 'tarkib idhofi'/kata majemuk , terdiri daru dua suku kata, ushul dan fiqih yang menjadi 'mudhof/keterangan dan mudhof ilaih/yang menerangkan. Kata Ushul adalah jamak dari akar kata 'ashl' yang menurut bahasa berarti 'sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain', sedang menurut istilah berarti 'dalil'. Sedang kata Fiqih menurut bahasa berarti 'pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan, seperti diisyaratkan Allah dalam firman-Nya dalam surah an Nisa' ayat 78 "famalihaulai al qoumi la yakaduna yafqohuna hadis". Kata yafqohuna bermakna 'memahami'. Demikian juga dalam hadis Nabi SAW yang menyatakan " man yuridallahu bihi khoiran yufaqqihu fiddin"/barang siapa yang dikendaki Allah sebagai orang yang baik, Allah akan memberikan pemahaman kepadanya dalam persoalan-persoalan agama. (H. Muttafaqun 'alaih). Sebagaimana dikatakan Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian ini maka dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqih adalah tentang hukum-hukum yang rinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, wajib, sunnat, makruh dan mubah beserta dalilnya masing-masing. Sementara itu ulama mendefinisikan Ushul Fiqih adalah kaedah-kaedah yang menjelaskan metode, seperti diungkapkan Prof. Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqihnya " al 'ilmu bilqowa'idillati tarsumu al manahiju liistimbathi al ahkami al 'amaliyati min adillatiha al tafshiliyati"/ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.

Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu Mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi Ushul Fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu Nahu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu Ushul Fiqih, merupakan kaedah yang memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan menetapkan hukum.Obyek Pembahasan Ushul FiqihSesuai dari keterangan tentang pengertian ilmu Ushul Fiqih, maka yang menjadi obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqih meliputi:
(1).Pembahasan tentang dalil-dalil/hukum syara', yaitu macam-macamnya, rukun atau syarat masing- masing dari ragam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.

(2). Pembahasan tentang hukum, yaitu pembahasan secara umum, tidak dibahas secara rinci bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini meliputi macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Dan dalam hal ini dibagi kepada:
a). Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh". Q.S. al An'am. A.57b).
b).Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW.
c). Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan jawab.

(3). Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

(4). Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.

Hukum Syara'
Salah satu Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yaitu ketetapan Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan perintah atau larangan/iqtidha', pilihan/takhyir, maupun sebab akibat/wadh'i. Dan yang dimaksud dengan ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf; seperti hukum haram, wajib, sunnat (sunnah), makruh, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan lainnya.Seperti hubungan antara pembagian harta pusaka dengan kematian seseorang, di mana kematian seseorang menjadi sebab berhaknya ahli waris terhadap pemilikan harta pusaka dari orang yang mati. Bisa juga hubungan antara dua hal, yang satu menjadi syarat bagi terwujudnya yang lain, mengambil wudhu' misalnya adalah syarat untuk mengerjakan shalat atau syarat adanya saksi bagi sahnya suatu pernikahan. Dengan demikian disimpulkan, bahwa hukum syara' dibagi menjadi dua hal, yaitu
1). yang berupa iqtidha' dan takhyir disebut hukum taklifi.
2). Hukum yang menghubungkan antara dua hal (sebab-akibat) disebut hukum wadh'i.

Sabtu, 25 Juli 2009

Ilmu adalah segalanya, yang sangat berguna bagi kita semua....